Jemaat Rejoagung diawali dengan kedatangan 7 KK dari Desa
Kertorejo Kabupaten Jombang, yaitu :
1. Marwi Kertowiryo 5 Pramu Suwardi.
2. Pandri alias Nastiti 6. Prami Plontang
3. Rupingi, 7. Insamudro Darmo
4. Purwo
Pada tahun 1907 mula-mula mereka datang kedaerah yang
sekarang dikenal dengan nama Dusun
Darungan.Mereka mencari jalan bagaimana caranya membuka hutan, mereka pertama
kali berhubungan dengan Kepala Kehutanan
yang memberi petunjuk bagaimana cara
mengajukan permohonan kepada Pemerintah pada saat itu. Kemudian
mereka menghadap kepada Pdt. Van Der Spiegel dari JAVA COMITEE yang berkedudukan di
Bondowoso agar bersedia menjadi perantara bagi mereka dalam membuka hutan.
tahun 1907 mereka diijinkan untuk membuka hutan yang dimaksud.
Pada tahun 1910, pembukaan hutan sudah cukup luas dan dapat dipergunakan sebagai pemukiman penduduk. Setiap hari minggumereka mengadakan kebaktian secara bergiliran di tempatnya. Kebaktian dipimpin oleh Pdt. VAN DER SPIEGEL 2X dalam satu bulan setiap hari minggu. Saat itu jumlah warga sudah bertambah menjadi 12 kk dengan jumlah 31 jiwa warga dewasa / anak-anak. Tahun 1913, jumlah warga bertambah lagi menjadi 17 KK. Atas saran dan pandangan dari Pdt Van Der Spiegel karena sudah dianggap cukup kuat merekapun membangun sebuah rumah biasa dari tiang kayu dengan atap daun selang/rotan yang digunaklan sebagaitempat untuk ibadah. Dan untuk memperkuat dan menumbuhkaniman mereka, maka diangkatlah seorang Pamulang yaitu “Bpk Marwi Kartowiryo”.
Pada tahun 1915 jumlah warga menjadi 17 KK dengan jumlah 65 jiwa warga dewasa dan anak. Pada tahun itu juga mereka mengadakan musyawarah untuk memberi nama desa baru hasil pembukaan hutan yaitu Desa REJOAGUNG yang memiliki arti REJO : diharapkan nantinya menjadi Desa yang ramai , AGUNG : hutan yang banyak airnya, seperti laut. Desa Rejoagung ini nantinya diharapkan dapat menjadi “Sebuah Desa Kristen”, sehingga yang boleh ikut membuka hutan adalah orang-orang kristen atau mereka yang bukan orang kristentetapi harus bersedia menjadi orang Kristen. Dalam musyawarahnya tersebut, mereka menetapkan peraturan desa/hukum adat yang diberlakukan kepada warga secara turun temurun dan harus dipegang teguh adalah :
1. Tidak boleh menjual tanah kepada penduduk diluar
desa/lain daerah.
2. Jika terpaksa dijual kepada orang diluar desa, orang yang
membeli tersebut harus mematuhi
peraturan desa yang telah ditetapkan.
Tahun 1920 Pdt. Van
Der Spiegel digantikan oleh Pdt. Van Den
Berg. Jumlah warga juga bertambah menjadi 68 KK, atau 180 jiwa warga dewasa dan
anak-anak. Pada Thun 1921 atap rumah
Ibadah diganti dengan genting yang memiliki dwi fungsi ;
1. Setiap hari Minggu digunakan sebagai tempat ibadah dan
sekolah Agama (Katekisasi).
2. Hari-hari
lain dipakai sebagai
sekolah Dasar atas
usaha Zending (Zending School).
Antara tahun 1923-1929
Kepala Desa didampingi Pdt. Van Den Berg dan Pamulang Marwi
Kartowiryo mendirikan sekolah milik Gereja yang diperuntukan khusus bagi
anak-anak Sekolah Zending kelas Y dengan masa belajar selama 2 tahun lamanya.
Pada tahun 1929, Jemaat Rejoagung untuk pertama kalinya menerima tenaga pendeta dari orang pribumi / suku jawa yaitu Pdt Susalam Wiryotanoyo, yang dalam tugas pelayanannya di damping oleh Pdt Van Den Berg. Akhir tahun 1929 Pdt. Van Den Berg digantikan oleh Pdt. O. Dedecker dari Java Comitee yang melayani jemaat Rejoagung setiap 3 bulan sekali.
Karena Pamulang Marwi Kartowiryo sudah lanjut usia maka
beliau meletakan jabatannya dan digantikan oleh Eprayim Yohanes selaku pamulang yang baru.Saat itu jumlah
warga sudah mencapai 245 KK, 480 jiwa
warga dewasa dan anak-anak. Dalam
kepemimpinan Pdt Susalam Wiryotanoyo
dibagun sebuah Gedung Gereja yang baru dengan
ukuran 12 X 24 M ,yang dibangun
mulai tahun 1931-1932. Dengan adanya Gedung Gereja yang baru ini semakin
memantapkan kehidupan warga dalam
bermasyarakat dan bergereja/berjemaat.
Tahun 1934, kegiatan pemuda mulai bangkit yang ditandai dengan berdirinya Persatuan Muda Kristen Jawi ( MKD ). Dan pada tahun itu pula Pdt Susalam Wiryotanoyodimutasikan kedaerah lain.
Pada tahun 1935, jumlah warga sebanyak 289 KK, 525 jiwa. Terdiri dari warga
dewasa dan anak-anak. Dalam tahun itu
pula Rejoagung menerima Pendeta baru
yaitu : Pdt Nursaid Seco yang melayani selama lima tahun dengan
didampingi oleh pamulang yang baru yaitu Bpk Ribowo. Pada tahun 1940 Pdt NursaidSeco dipindahkan
dan digantikan oleh Pdt. Mirso
yang melayani Rejoagung selama 1 tahun (
1940-1941).
Pada tahun 1942, jemaat
Rejoagung kembali menerima Tenaga
Pendeta Baru yaitu : Pdt. Renggo bersama dengan masuknya tentara / pemerintahan
Jepang .
Pada tahun 1943, Jemaat Rejoagung mengalami pencobaan yang sangat berat. Banyak anggota jemaat yang ditahan oleh Ken
Pei Tai ( Polisi Militer Jepang ) mereka menerima penganiayaan dan siksaan yang berat, termasuk Pdt Renggo
yang mendekam dalam tahanan selama 4
bulan lamanya. Banyak dari merekayang
menjadi kurban penyiksaan dan
penganiayaan antara lain Wincono,
Soewitoadji, Tik Purwo, Restopo, Malik, Jidin, dan masih banyak yang lainnya,
mereka meninggal di dalam tahanan. Warga jemaat dilarang untuk mengadakan
kebaktian di Gereja. Gedung Gereja di tutup, semua buku-buku administrasi disita
oleh pemerintah Jepang.
Tahun 1943 – 1944, Desa Rejoagung kosong warga mengungsi ke daerah/ Desa lain. Pelayanan Gerejawi seperti nikah, babtis, sidhi, dan lain-lainnya untuk sementara waktu dilayani oleh jemaat jemaat yang berdekatan seperti Sidorejo, Sidoreno dan Tunjungrejo. Pendidikan bagi anak-anak baik pendidikan formal maupun rohani menjadi terbengkelai. Disebelah kanan Gedung Gereja didirikan langgar/ musola dengan maksud supaya warga mau melakukan solat.
Baru pada bulan Agustus 1945, dengan kekalahan Tentara
Jepang atas sekutu dan Indonesia menyatakan sebagai Negara yang merdeka, warga
terbebas dari segala penderitaan dan rasa takut.
Maka pada bulan Oktober 1945, kebaktian dibuka kembali yang
dilayani oleh Pdt Marjo Sir yang pada saat itu selaku ketua Sinode. Semua yang
rusak dibenahi/ diperbaiki kembali oleh warga. Dalam kebaktian tersebut banyak
warga yang menangis dan terhari karena teringat akan penderitaan yang mereka
alami selama penjajahan oleh Jepang dan banyak anggota keluarga yang meninggal
didalam tahanan akibat kekejaman tentara Jepang. Anggota Majelis Jemaat saat
itu tinggal 9 orang, sedangkan yang 3 orang meninggal dunia.Selesai kebaktian,
Pamulang Ribowo yang saat itu selaku wakil ketua menanam pohon “ Ketangi”
disebal kanan Gedung Gereja sebagai suatu peringatan bagi warga, terutama anak
cucu mereka. Pohon tersebut sampai
sekarang masih tetap hidup dan dikaga dan dirawat oleh warga jemaat. Pohon
ketangi memilikimakna yang sangat berarti dan mendalam bagi warga jemaat, “
tangi “ artinya bangun, buahnya "jenggelek" artinya bangkit berdiri sedangkan bunganya berwarna
“ungu” (Bahasa jawa : Wungu)yang berarti
bangun dari tidur Makna seluruhnya :
Agar warga Jemaat mau bangun kembali untuk menjadi saksi Kristus. Karena
kRistuslah yang menyelamatkan kita.
Sejak dibukanya kembali kebaktian pada bulan Oktober 1945-1947, Jemaat rejoagung mengalami kekosongan tanpa Pendeta. Kebaktian hanya dilayani oleh anggota Majelis jemaat secarta bergiliran. Pamulang tetap Bpk Ribowo dengan dibantu oleh Bpk Rahmat Yohanes.
Tahun 1947, menerima tenaga pelayan yaitu Vikaris Sutiknyo
Akas. Atas permintaan dari warga Jemaat,
beliau diminta kesediaannya untuk menjadi Pendeta di Rejoagung, dan beliau
bersedia untuk menjadi Pendeta di Jemaat Rejoagung, dengan didampingi oleh
Pamulang Rahmat Yohanes. Dan saat itu
jumlah warga sudah mencapai 322 KK, 1350
jiwa tang terdiri dari warga dewasa dan anak-anak. Perkembangan Pekabaran Injil sangat baik,
sehingga lahir warga-warga baru ( wargo Marenco) disekitar desa Rejoagung,
seperti Pondok Waluh (Desa Wringinagung ), Semboro dan Tanggul Kulon, Sukoreno.
Tahun 1959 PdtSutikno Akasdimutasikan dari Rejoagung.
Sediaji Mitrotanoyo dengan didampingi Pamulang Rahmat Pada
tahun 1960, Jemaat Rejoagung menerima tenaga Pendeta yaitu Pdt Yohanes dan di
bantu oleh Bpk Poerwendro Kertowiryo.
Akhir tahun 1963 , Pdt Sediaji Mitrotanoyo meninggal dunia
karena sakit, beliau sempat dirawat di RSKI Malang. Jemaat Rejoagung kembali
mengalami kekosongan tenaga Pendeta
selama satu tahun.
Pada tahun 1965, Jemaat Rejoagung kembali menerima pendeta baru yaitu Pdt
Setiono dengan didampingipamulang Purwendro Kartowiryo. Saat itu jumlahwarga sudah mencapai 348 KK. Karena banyak warga yang ikut transmigrasi
sehingga jumlah warga tinggal 927 jiwa dewasa dan anak. Akhir tahun 1971 Pdt
Setiono meninggal dunia, dan jemaat Rejoagung mengalami kekomplangan pendeta
selama setengah tahun.
Tahun 1972 menerima kembali tenaga Pendeta yaitu Pdt Sukarlan dan mulai saat itu juga tidak ada lagi Pamulang. Dalam melayani jemaat, Pdt Sukarlan dibantu oleh anggota majelis jemaat khususnya pelayanan ke Pepanthan dan wargo marenco.
Tahun 1978 Pdt Sukarlan dimutasikan dan Jemaat Rejoagung
mengalamii kekosongan pendeta. Selama
kekosongan Pendeta, jemaat Rejoagung menerima
Vikaris Sri Hadijanto S, selama 2
tahun ( 1978 -1980).
Awal Tahun 1980 jemaat Rejoagung menerima tenaga pendeta lagi yaitu Pdt Soerantoro Samino. yang melayani jemaat Rejoagung sampai tahun
1986.
Tahun 1986 Pdt
Soerantoro Samino dimutasikan ke Jemaat
Waru Surabaya. Sebagai penggantinya adalah Pdt. Prasetyo
Rasmo. selama 10 tahun melayani Jemaat Rejoagung, dan pada tahun 1996 Pdt
Prasetyo Rasmo dimutasikan ke Jemaat
Gadang.
Pada Bulan Oktober 1996 Jemaat Rejoagung menerima
kembali tenaga pendeta yaitu Pdt.Soeprapto Sm.Th pindahan dari
Jemaat Mojosari-Mojokerto. Tahun 2003 Pdt Soeprapto Sm.Thdimutasikanke GKJW
Jemaat Purwoharjo – Kediri Utara sebagai penggantinya adalah Pdt Teguh
Setyoadi, S.Th.
Pada bulan September Tahun 2013 Pdt. Teguh Setyoadi, S.Th
dimutasikan ke GKJW Jemaat Mutersari. Sebagai penggantinya adalah Pdt. Suwito,
M.Si. Sampai saat ini Jemaat Rejoagung
mempunyai 2 Pepanthan (Pepanthan Tanggul dan Pepanthan Semboro),2 wargo
marenmco (Wringin Agung dan Sukoreno ) dan 17 Kelompok di Induk. Dan memiliki 3
Gedung Gerja ( Induk Rejoagung, Gumuk
Watu (Klp Lukas) dan di Tanggul.
0 comments:
Post a Comment